Dua tahun lamanya kami menantikan hadirnya buah hati. Tinggal berjauhan pasca menikah membuat kami tidak bisa sering bertemu dan hanya berkomunikasi lewat telepon. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan dunia kerja kala itu.
“Kamu yakin mau resign?”, tanya seorang teman ketika saya sedang makan siang bersamanya dikantin.
“Hu um,” jawab saya singkat
“Apa ga sayang, Da? Udah karyawan tetap lho, rumah juga udah ada disini”, timpal teman saya lagi.
Ya, tahun 2015 saya memutuskan resign dan mengikuti suami berdinas di Kota Mertropolitan. Dengan pertimbangan finansial yang sangat berat bagi saya saat itu, karena saya masih memiliki tanggungan KPR di Yogyakarta, rumah yang saya beli sendiri sebelum menikah. Sementara gaji suami pun sudah tidak diterima utuh karena pinjaman yang diajukannya jauh sebelum menikah dengan saya baru akan terlunasi di tahun 2017.
Sebenarnya ketar-ketir juga hati saya membayangkan bagaimana nanti saya harus mengatur keuangan. Kami saling menyadari bahwa keadaan keuangan kami akan sangat tidak stabil, namun keinginan untuk bisa hidup berdampingan membangun keluarga yang samawa dan dorongan ingin segera memiliki momongan memantapkan keyakinan kami, bahwa kami akan mampu.
Setelah resign saya pun langsung tinggal bersama suami di rumah almarhum mertua. Ada ibu sambung dan dua keponakan dari suami saya yang juga tinggal disana. Nyamankah? Tentu tidak sama sekali bagi saya, tetapi yah masih lumayanlah karena kami tidak harus menyewa rumah sehingga gaji suami bisa di fokuskan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan melanjutkan membayar KPR rumah saya di Jogja dulu.
---
Tak berselang lama saya pun hamil. Beratnya menjalani kehidupan berkeluarga pun kami rasakan menjelang melahirkan anak pertama kami. Saat itu kami tidak memiliki tabungan sama sekali dan masih tinggal di rumah mertua. Jangankan untuk membeli rumah, dana untuk biaya persalinan pun kami belum punya.
Sama seperti kebanyakan calon ibu baru, saat itu pun saya merasakan kekhawatiran akan banyak hal, apalagi membayangkan akan mulai merawat bayi di rumah mertua sepertinya akan sangat risih. Oleh karenanya saya meminta izin kepada suami untuk melahirkan di kampung saja dengan beralasan bahwa kami belum memiliki rumah sendiri dan saya merasa tidak nyaman jika akan merepotkan disana.
Namun ternyata tidak sesuai dengan dugaan saya, suami saya bukannya mengiyakan permintaan saya untuk melahirkan di kampung akan tetapi malah sangat bertekad untuk membeli rumah. Hampir setiap weekend suami saya mengajak motoran keliling pinggiran kota, tujuan sudahlah pasti, mencari sebuah rumah baru dengan harga yang masih masuk akal bagi kami. Haha, agak lucu sih, bagaimana bisa menemukan harga masuk akal kalau bahkan kami tak memiliki tabungan sepeser pun.
Saya tak berani berharap banyak, namun memang ada salah satu rumah yang membuat saya terpikat. Sebuah rumah sederhana, tidak terlalu luas namun tidak sempit, yah pas lah jika untuk keluarga kecil dengan satu atau dua orang anak. Rumah dengan dua buah kamar tidur dan dua kamar mandi. Bergaya open space, terdapat taman terbuka di dalam rumah yang sebagiannya di atapi fiberglass, menjadi konektor antara ruang dalam rumah dan dapur. Benar-benar seperti impian saya yang sangat mengidamkan rumah dengan banyak cahaya matahari masuk.
Berada di pinggiran Kota Depok, rumah itu pun sebenarnya sangat mahal untuk kami. Kami mulai berdiskusi tentang rencana pembelian rumah yang hasilnya sudah dapat dipastikan, nihil, hahaha. Berandai dengan cara apapun kok tidak menemukan cara untuk bisa membeli rumah itu. Ya ada sih satu, menjual rumah pribadi saya yang di Yogyakarta untuk kemudian uangnya digunakan membeli rumah di Depok itu.
Namun gagasan itu sudah langsung ditolak oleh suami saya, dia tidak tertarik dengan usulan itu. Dan lagi orang tua saya sangat menyayangi rumah jogja itu. Merekalah yang sesekali menempatinya ketika weekend, maka untuk menjualnya pun saya memerlukan izin dari keduanya.
----
Terdengar suara dering ponsel yang mengagetkan saya, saat itu saya sedang menikmati menonton acara televisi sambil rebahan di kamar. Tertera nama si penelepon di layar handphone “Mom”, langsung buru-buru saya terima telepon itu.
“Yuk, wis ndang gek di deal omahe Depok kae!” (Yuk, segera di sepakati untuk membeli rumah yang di Depok itu). Suara bapak terdengar membuka percakapan via seluler. Saya terbata menjawab, karena bingung bagaimana akan berani membuat kesepakatan membeli rumah sementara uang saja tidak punya?
“Rumah yang di Jogja di jual saja, terus nanti kurangnya biar bapak sama ibu pinjami dulu”. Bapak melanjutkan ucapannya sembari memberi solusi. Seperti angin segar yang berhembus memberi kabar gembira, saya pun meng-iyakan saran bapak. Malamnya segera saya sampaikan kabar itu pada Mas danang.
“Gimana mas?”, tanyaku setelah menyampaikan kabar gembira itu.
“Emang bapak-ibu nanti ga gelo (kecewa) kalau kita jual rumah jogja?”, jawabnya dengan bertanya juga.
Saya tahu pasti suami saya pasti tidak akan menerima usulan itu, karena semepet apapun keadaannya dia adalah lelaki yang tahu pasti akan tanggung jawabnya. Menjadi kewajibannya memastikan saya dan anak-anak kami kelak untuk terpenuhi segala kebutuhan sandang, pangan serta papannya tanpa bergantung pada orang lain, termasuk pada orang tua. Dia pun meminta waktu untuk memikirkan usulan dari bapak.
Hampir setiap hari bapak menelepon saya dan menanyakan bagaimana kelanjutan rencana pembelian rumah itu. Sepertinya kedua orang tua saya paham betul bagaimana kondisi keuangan kami. Mereka juga khawatir dengan keadaan saya yang akan melahirkan sebentar lagi. Kondisi rumah almarhum mertua saya memang bisa dikatakan sangat tidak nyaman saat itu. Rumah tua dan tidak terurus, begitu juga lingkungan rumahnya, kumuh dengan gang sempit dan air tanah yang keruh.
Setelah beberapa minggu akhirnya Mas Danang setuju untuk menerima usulan dari bapak. Saya tahu pasti bahwa jauh di lubuk hatinya berat menerima usulan itu akan tetapi juga tidak ingin jika saya melahirkan di kampung dan kemudian harus berjauhan lagi.
---
Segera kami menghubungi si penjual rumah dan membuat janji bertemu. Kami ingin mencoba menawar harga rumah yang ingin kami beli itu, berharap harganya bisa turun meskipun sedikit. Dari sedikit obrolan saat itu kami tahu bahwa telah banyak juga orang lain yang mencoba menawarnya.
“Bagaimana Pak supaya ini bisa deal? Sedikit di turunkanlah pak harganya”, kami mencoba menawar.
Setelah dengan berbagai perhitungan antara kami dan penjual, disepakatilah harga rumah itu. Segera kami bersama-sama pergi ke notaris untuk mengurus proses jual beli dan pindah nama kepemilikan rumah.
Akhirnya kami dapat memiliki rumah sendiri dengan pinjaman dana dari orang tua saat itu, namun kami tahu pasti bahwa orang tua bukanlah sumber dana darurat. Oleh karena itu segera kami berbenah dalam mengatur keuangan, ingat bukan bahwa sebentar lagi saya akan melahirkan? Dananya? Belum ada….haha… Malu donk kalau pinjam lagi!
Nah, setelah membeli rumah dan pindahan, kondisi keuangan kami masih sangat mepet namun harus segera menabung untuk biaya persalinan dan membeli perlengkapan bayi. Dengan gaji yang suami terima saat itu, saya berusaha untuk menabung. Sedikit tapi bisalah, dengan meminimalkan kebutuhan belanja makan maupun bersenang-senang. Karena sudah rumah sendiri dan hanya berdua saja otomatis kebutuhan belanja bulanan pun tidak sebanyak saat masih tinggal bersama banyak anggota keluarga lain.
Sebulan menjelang persalinan, tabungan terkumpul kira-kira cukup untuk biaya bersalin di rumah sakit. Sementara perlengkapan bayi belum sama sekali kami beli. Kadang khawatir juga sih, bagaimana nanti jika ternyata saya melahirkan lebih cepat dari perkiraan namun baju bayi pun kami belum memilikinya?
“ Ibu punya BPJS?” tanya dokter kandungan malam itu. Pemeriksaan kandungan sudah mulai lebih rutin, seminggu sekali, karena sudah mendekati HPL.
“Ada Dok, tapi tidak bisa digunakan kan ya Dok untuk persalinan di rumah sakit ini?” saya memastikan, karena memang rumah sakit tempat saya periksa kandungan ini bukanlah rumah sakit rujukan BPJS. Pemeriksaan kandungan saya selama ini pun juga tidak pernah menggunakan BPJS. Jadi kami tidak pernah berpikir untuk menggunakan BPJS ketika bersalin.
“Nanti saya bantu supaya bisa dijaminkan ke BPJS, sayang sudah bayar iurannya tiap bulan tapi tidak digunakan”, jawab dokter itu.
Seperti mendapat kejutan yang menyenangkan di tengah himpitan kebutuhan dana. Akhirnya perlengkapan bayi dapat kami beli dengan menggunakan dana darurat yang kami persiapkan untuk biaya persalianan. Tentu saja kami tidak langsung menghabiskannya semua uang itu, hanya membeli sedikit saja yang sangat diperlukan bayi baru lahir, karena bagaimanapun juga dana darurat ini kami persiapkan untuk biaya melahirkan atau jika sewaktu-waktu membutuhkan uang.
Dan benar saja! Hanya dua hari setelah lahir bayi saya kuning bahkan sempat tidak sadarkan diri di hari ke tiga sehingga harus di rawat di NICU. Dirawat di NICU selama lima hari tentu saja memerlukan biaya yang lumayan besar, untung saja kami sempat menabung dan tidak gegabah dalam menggunakan uang tabungan itu.
---
Tak berselang lama saya pun hamil. Beratnya menjalani kehidupan berkeluarga pun kami rasakan menjelang melahirkan anak pertama kami. Saat itu kami tidak memiliki tabungan sama sekali dan masih tinggal di rumah mertua. Jangankan untuk membeli rumah, dana untuk biaya persalinan pun kami belum punya.
Sama seperti kebanyakan calon ibu baru, saat itu pun saya merasakan kekhawatiran akan banyak hal, apalagi membayangkan akan mulai merawat bayi di rumah mertua sepertinya akan sangat risih. Oleh karenanya saya meminta izin kepada suami untuk melahirkan di kampung saja dengan beralasan bahwa kami belum memiliki rumah sendiri dan saya merasa tidak nyaman jika akan merepotkan disana.
Namun ternyata tidak sesuai dengan dugaan saya, suami saya bukannya mengiyakan permintaan saya untuk melahirkan di kampung akan tetapi malah sangat bertekad untuk membeli rumah. Hampir setiap weekend suami saya mengajak motoran keliling pinggiran kota, tujuan sudahlah pasti, mencari sebuah rumah baru dengan harga yang masih masuk akal bagi kami. Haha, agak lucu sih, bagaimana bisa menemukan harga masuk akal kalau bahkan kami tak memiliki tabungan sepeser pun.
Saya tak berani berharap banyak, namun memang ada salah satu rumah yang membuat saya terpikat. Sebuah rumah sederhana, tidak terlalu luas namun tidak sempit, yah pas lah jika untuk keluarga kecil dengan satu atau dua orang anak. Rumah dengan dua buah kamar tidur dan dua kamar mandi. Bergaya open space, terdapat taman terbuka di dalam rumah yang sebagiannya di atapi fiberglass, menjadi konektor antara ruang dalam rumah dan dapur. Benar-benar seperti impian saya yang sangat mengidamkan rumah dengan banyak cahaya matahari masuk.
Berada di pinggiran Kota Depok, rumah itu pun sebenarnya sangat mahal untuk kami. Kami mulai berdiskusi tentang rencana pembelian rumah yang hasilnya sudah dapat dipastikan, nihil, hahaha. Berandai dengan cara apapun kok tidak menemukan cara untuk bisa membeli rumah itu. Ya ada sih satu, menjual rumah pribadi saya yang di Yogyakarta untuk kemudian uangnya digunakan membeli rumah di Depok itu.
Namun gagasan itu sudah langsung ditolak oleh suami saya, dia tidak tertarik dengan usulan itu. Dan lagi orang tua saya sangat menyayangi rumah jogja itu. Merekalah yang sesekali menempatinya ketika weekend, maka untuk menjualnya pun saya memerlukan izin dari keduanya.
----
Terdengar suara dering ponsel yang mengagetkan saya, saat itu saya sedang menikmati menonton acara televisi sambil rebahan di kamar. Tertera nama si penelepon di layar handphone “Mom”, langsung buru-buru saya terima telepon itu.
“Yuk, wis ndang gek di deal omahe Depok kae!” (Yuk, segera di sepakati untuk membeli rumah yang di Depok itu). Suara bapak terdengar membuka percakapan via seluler. Saya terbata menjawab, karena bingung bagaimana akan berani membuat kesepakatan membeli rumah sementara uang saja tidak punya?
“Rumah yang di Jogja di jual saja, terus nanti kurangnya biar bapak sama ibu pinjami dulu”. Bapak melanjutkan ucapannya sembari memberi solusi. Seperti angin segar yang berhembus memberi kabar gembira, saya pun meng-iyakan saran bapak. Malamnya segera saya sampaikan kabar itu pada Mas danang.
“Gimana mas?”, tanyaku setelah menyampaikan kabar gembira itu.
“Emang bapak-ibu nanti ga gelo (kecewa) kalau kita jual rumah jogja?”, jawabnya dengan bertanya juga.
Saya tahu pasti suami saya pasti tidak akan menerima usulan itu, karena semepet apapun keadaannya dia adalah lelaki yang tahu pasti akan tanggung jawabnya. Menjadi kewajibannya memastikan saya dan anak-anak kami kelak untuk terpenuhi segala kebutuhan sandang, pangan serta papannya tanpa bergantung pada orang lain, termasuk pada orang tua. Dia pun meminta waktu untuk memikirkan usulan dari bapak.
Hampir setiap hari bapak menelepon saya dan menanyakan bagaimana kelanjutan rencana pembelian rumah itu. Sepertinya kedua orang tua saya paham betul bagaimana kondisi keuangan kami. Mereka juga khawatir dengan keadaan saya yang akan melahirkan sebentar lagi. Kondisi rumah almarhum mertua saya memang bisa dikatakan sangat tidak nyaman saat itu. Rumah tua dan tidak terurus, begitu juga lingkungan rumahnya, kumuh dengan gang sempit dan air tanah yang keruh.
Setelah beberapa minggu akhirnya Mas Danang setuju untuk menerima usulan dari bapak. Saya tahu pasti bahwa jauh di lubuk hatinya berat menerima usulan itu akan tetapi juga tidak ingin jika saya melahirkan di kampung dan kemudian harus berjauhan lagi.
---
Segera kami menghubungi si penjual rumah dan membuat janji bertemu. Kami ingin mencoba menawar harga rumah yang ingin kami beli itu, berharap harganya bisa turun meskipun sedikit. Dari sedikit obrolan saat itu kami tahu bahwa telah banyak juga orang lain yang mencoba menawarnya.
“Bagaimana Pak supaya ini bisa deal? Sedikit di turunkanlah pak harganya”, kami mencoba menawar.
Setelah dengan berbagai perhitungan antara kami dan penjual, disepakatilah harga rumah itu. Segera kami bersama-sama pergi ke notaris untuk mengurus proses jual beli dan pindah nama kepemilikan rumah.
Akhirnya kami dapat memiliki rumah sendiri dengan pinjaman dana dari orang tua saat itu, namun kami tahu pasti bahwa orang tua bukanlah sumber dana darurat. Oleh karena itu segera kami berbenah dalam mengatur keuangan, ingat bukan bahwa sebentar lagi saya akan melahirkan? Dananya? Belum ada….haha… Malu donk kalau pinjam lagi!
Nah, setelah membeli rumah dan pindahan, kondisi keuangan kami masih sangat mepet namun harus segera menabung untuk biaya persalinan dan membeli perlengkapan bayi. Dengan gaji yang suami terima saat itu, saya berusaha untuk menabung. Sedikit tapi bisalah, dengan meminimalkan kebutuhan belanja makan maupun bersenang-senang. Karena sudah rumah sendiri dan hanya berdua saja otomatis kebutuhan belanja bulanan pun tidak sebanyak saat masih tinggal bersama banyak anggota keluarga lain.
Sebulan menjelang persalinan, tabungan terkumpul kira-kira cukup untuk biaya bersalin di rumah sakit. Sementara perlengkapan bayi belum sama sekali kami beli. Kadang khawatir juga sih, bagaimana nanti jika ternyata saya melahirkan lebih cepat dari perkiraan namun baju bayi pun kami belum memilikinya?
“ Ibu punya BPJS?” tanya dokter kandungan malam itu. Pemeriksaan kandungan sudah mulai lebih rutin, seminggu sekali, karena sudah mendekati HPL.
“Ada Dok, tapi tidak bisa digunakan kan ya Dok untuk persalinan di rumah sakit ini?” saya memastikan, karena memang rumah sakit tempat saya periksa kandungan ini bukanlah rumah sakit rujukan BPJS. Pemeriksaan kandungan saya selama ini pun juga tidak pernah menggunakan BPJS. Jadi kami tidak pernah berpikir untuk menggunakan BPJS ketika bersalin.
“Nanti saya bantu supaya bisa dijaminkan ke BPJS, sayang sudah bayar iurannya tiap bulan tapi tidak digunakan”, jawab dokter itu.
Seperti mendapat kejutan yang menyenangkan di tengah himpitan kebutuhan dana. Akhirnya perlengkapan bayi dapat kami beli dengan menggunakan dana darurat yang kami persiapkan untuk biaya persalianan. Tentu saja kami tidak langsung menghabiskannya semua uang itu, hanya membeli sedikit saja yang sangat diperlukan bayi baru lahir, karena bagaimanapun juga dana darurat ini kami persiapkan untuk biaya melahirkan atau jika sewaktu-waktu membutuhkan uang.
Dan benar saja! Hanya dua hari setelah lahir bayi saya kuning bahkan sempat tidak sadarkan diri di hari ke tiga sehingga harus di rawat di NICU. Dirawat di NICU selama lima hari tentu saja memerlukan biaya yang lumayan besar, untung saja kami sempat menabung dan tidak gegabah dalam menggunakan uang tabungan itu.
---
Pengalaman adalah guru terbaik
Seperti itu kiranya pengalaman mengajari kami menjadi manusia dewasa yang lebih bertanggung jawab. Dari sulitnya keadaan finansial yang pernah kami alami, saya dan suami menjadi sangat paham betapa dana darurat harus kita miliki dan itu perlu diupayakan. Oleh karena itu, segera setelah pinjaman suami lunas dan gaji diterima utuh, kami mulai merencanakan keuangan dengan sebaik mungkin.
Kami membuat plot-plot tabungan masa depan (pendidikan anak, investasi, dana darurat), tentu saja dengan tetap mempertimbangan pemenuhan kebutuhan hidup saat ini dan juga biaya hiburan, agar hidup tetap dapat dijalani dengan nyaman dan bahagia. Btw, kami menabung tanpa dasar hitungan pasti berapa persen dari gaji suami, yang pasti ada yang di tabung.
Namun sebenarnya berapa sih besarnya dana darurat yang perlu kita miliki? Mengutip dari laman djkn.kemenkeu.go.id, besaran nominal dana darurat setiap individu berbeda-beda. Perbedaan nominal dana darurat dapat terjadi karena adanya perbedaan profesi, jumlah penghasilan kebutuhan, dan gaya hidup. Tidak ada perhitungan angka dan persentase pasti untuk menentukan besarnya dana darurat.
Lebih lanjut djkn.kemenkeu.go.id menyebutkan bahwa besaran minimal dana darurat yang harus dipersiapkan idealnya adalah 6-12 kali lipat pengeluaran per bulan dengan mempertimbangkan kondisi masing-masing individu, yang dapat dicermati pada rincian di bawah ini.
Nah, dari sini sudah ketahuankan kalau penting bagi setiap individu untuk memiliki dana darurat, terlebih bagi mereka yang sudah berkeluarga. Saran saya bagi teman-teman single dan yang sedang berencana menikah, segera mulai menabung. Pastikan ada persiapan dana darurat sedari sekarang.
Sekarang sudah pahamkan tentang dana darurat ini? Coba langsung dihitung, kira-kira uang di tabungan sebagai dana darurat sudah aman belum nih? Yuk menabung, jangan sampai lalai ya teman-teman!
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Kami membuat plot-plot tabungan masa depan (pendidikan anak, investasi, dana darurat), tentu saja dengan tetap mempertimbangan pemenuhan kebutuhan hidup saat ini dan juga biaya hiburan, agar hidup tetap dapat dijalani dengan nyaman dan bahagia. Btw, kami menabung tanpa dasar hitungan pasti berapa persen dari gaji suami, yang pasti ada yang di tabung.
Namun sebenarnya berapa sih besarnya dana darurat yang perlu kita miliki? Mengutip dari laman djkn.kemenkeu.go.id, besaran nominal dana darurat setiap individu berbeda-beda. Perbedaan nominal dana darurat dapat terjadi karena adanya perbedaan profesi, jumlah penghasilan kebutuhan, dan gaya hidup. Tidak ada perhitungan angka dan persentase pasti untuk menentukan besarnya dana darurat.
Lebih lanjut djkn.kemenkeu.go.id menyebutkan bahwa besaran minimal dana darurat yang harus dipersiapkan idealnya adalah 6-12 kali lipat pengeluaran per bulan dengan mempertimbangkan kondisi masing-masing individu, yang dapat dicermati pada rincian di bawah ini.
- Belum menikah : 6 kali lipat per bulan
- Sudah menikah : 9 kali lipat pengeluaran per bulan
- Sudah menikah dan memiliki anak : 12 kali lipat pengeluaran per bulan
Nah, dari sini sudah ketahuankan kalau penting bagi setiap individu untuk memiliki dana darurat, terlebih bagi mereka yang sudah berkeluarga. Saran saya bagi teman-teman single dan yang sedang berencana menikah, segera mulai menabung. Pastikan ada persiapan dana darurat sedari sekarang.
Sekarang sudah pahamkan tentang dana darurat ini? Coba langsung dihitung, kira-kira uang di tabungan sebagai dana darurat sudah aman belum nih? Yuk menabung, jangan sampai lalai ya teman-teman!
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Posting Komentar
Posting Komentar